Pengurangan subsidi BBM sudah dibahas sejak
tiga tahun lalu, dengan harapan akan segera dapat direalisir agar dana subsidi
bisa dialihkan ke sektor lain yang tak kalah penting. Namun tarik-menarik isu politik, kepentingan
usaha dan tekanan publik, membuat ide ini sangat sulit diwujudkan.
Salah satu masalah terbesar yang muncul dari dinaikkannya harga
BBM adalah kekhawatiran akan terhambatnya pertumbuhan ekonomi karena dampak
kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi akibat komponen biaya yang naik.
Inflasi tidak mungkin
dihindari karena BBM adalah unsur vital dalam proses produksi dan distribusi
barang, kata peneliti dan direktur lembaga kajian migas Reforminer Institute,
Pri Agung Rakhmanto. Tetapi menaikkan harga BBM juga tak bisa dihindari karena
beban subsidi membuat negara sulit melakukan investasi bidang lain untuk
mendorong tumbuhnya ekonomi. Dampak dari naiknya BBM yaitu:
1. Inflasi lebih tinggi
Sejumlah pengamat
ekonomi lain berpandangan mirip. Enny Sri Hartati, Direktur INDEF, lembaga
analisis ekonomi, berpendapat harga BBM yang dinaikkan tidak akan mengerek
inflasi terlalu tinggi apalagi menyebabkan guncangan ekonomi. "Hitungan
kami cuma 2,2%. Yang jadi faktor pemberat itu adalah proses pengambilan
keputusan yang bertele-tele sehingga ekspektasi inflasi malah jauh lebih tinggi
dari yang sesungguhnya,"kata Enny. Akibatnya, dari simulasi kasar yang
dilakukan INDEF, inflasi tahun ini bisa meroket hingga 8%, meski 'tidak akan
mencapai dua digit'. Ekonom dari berbagai lembaga lain, termasuk sejumlah bank
swasta hingga Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik, umumnya meramal inflasi
akan mencapai 6-8%, melebihi target pemerintah tahun ini 5,3%.
2.
Ongkos naik
Sejumlah komponen
penyumbang utama kenaikan inflasi, di luar naiknya harga BBM, adalah harga
makanan-minuman serta tarif transportasi.
Keduanya mengklaim BBM
sebagai salah satu elemen utama, bahkan terbesar, dalam komponen ongkos
produksi dan distribusi. Menurut Hatta, kenaikan tarif angkutan masuk akal bila
tak lebih dari 10-20%. Tetapi menurut Soedirman, hitungan itu justru tak
bernalar.
"Itulah kalau tak
paham soal angkutan tapi berkomentar. Bagaimana pengusaha (angkutan) dituntut
peremajaan, memberi layanan yangsafety dan nyaman, kalau tarifnya selalu
murah?" kritik Soedirman pedas.
Sampai kini, tarif
angkutan menyesuaikan dengan penaikan harga BBM baru, belum lagi dibicarakan
antara Organda dengan pemerintah.
3.
Subsidi sejati
Apapun pertimbangan
menaikkan harga BBM, bagi kalangan miskin atau nyaris miskin, impliaksinya
hanya satu: kenaikan harga kebutuhan pokok. Menurut catatan Badan Kebijakan
Fiskal Kementerian Keuangan, tahun lalu besaran subsidi kesehatan hanya Rp43,8
triliun, infrastruktur Rp125,6 triliun, bantuan sosial Rp70,9 triliun,
sementara subsidi BBM menyedot dana paling besar, Rp165,2 triliun.
Padahal itu belum
termasuk subsidi listrik yang berjumlah Rp90 triliun, sehingga secara total
subsidi energi APBN 2011 mencapai Rp255 triliun. Realisasi subsidi BBM juga
cenderung membengkak dari angka acuan karena konsumsi BBM yang tak terkendali.
Tahun 2010 misalnya,
subsidi BBM yang mestinya habis pada hitungan Rp69 triliun kemudian membesar
menjadi Rp82,4 triliun. Hal sama terulang pada 2011 dimana anggaran subsidi
Rp96 triliun kemudian bengkak menjadi hampir dua kali, yakni Rp165,2 triliun.
Akibatnya kesempatan
berinvestasi dalam bentuk infrastruktur dan pembangunan nonfisik, termasuk
kesehatan dan pendidikan, menjadi lebih sedikit.
Pengurangan subsidi BBM,
menurut pemerintah, akan dialihkan sebagian pada program infratsruktur, meski
belum jelas apa saja bentuknya dan bagaimana realisasinya.
sumber:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/03/120327_fuelhikeeconomicalimpact.shtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar